“Artikel ilmiah – kompensasi sponsorship PT. Novartis Indonesia”
Degenerasi makula terkait usia neovaskular juga dikenal sebagai wet AMD adalah penyebab utama kehilangan penglihatan yang parah dan kebutaan total pada penduduk berusia 65 tahun.1
Meskipun terapi anti-VEGF terbukti memberikan perbaikan pada kondisi pasien, namun masih terdapat keterbatasan dalam penggunaannya seperti seringnya kebutuhan pasien untuk melakukan monitoring dan pengobatan di klinik.2 Hal tersebut dapat menyebabkan hasil pengobatan yang tidak optimal dikarenakan ketidakpatuhan pasien dan dosis yang kurang. Alternatif pengobatan yang dapat memberikan efek yang lebih lama, dengan interval pengobatan yang lebih panjang dibutuhkan untuk menjadi solusi atas masalah tersebut.3
Brolucizumab (RTH258 atau ESBA 1008) merupakan anti-VEGF terkecil berupa single chain fragment antibody, yang memberikan dosis molar lebih tinggi dibandingkan anti-VEGF lain dengan volume yang sama, sehingga berpotensi untuk memberikan durasi efek pengobatan yang lebih panjang.4
Uji klinis SEE merupakan uji fase I/II dari brolucizumab yang dilakukan secara acak, prospektif, dan double-masked untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan brolucizumab dibandingkan ranibizumab pada pasien baru wet AMD. Uji klinis SEE melibatkan 195 pasien dari 51 lokasi di United States, Europe, Israel, and Australia.5
Pasien yang direkrut untuk uji coba berusia 50 tahun atau lebih, tidak pernah diobati dan memiliki neovaskularisasi subfoveal koroidal primer karena AMD. Pasien diacak untuk mendapatkan brolucizumab dengan berbagai dosis (0,5 mg; 3,0 mg; 4,5 mg; 6,0 mg) dan ranibizumab dosis 0,5 mg selama 6 bulan.5
Primary endpoint adalah non inferioritas brolucizumab terhadap aflibercept dalam perubahan CSFT dari baseline sampai bulan ke-1.5 Secondary endpoint meliputi durasi efek terapi yang dihitung dari waktu pengobatan awal sampai pasien perlu menerima pengobatan sebelumnya (post-baseline therapy).5 Selain itu juga diukur perubahan CSFT dan BCVA dari awal terapi hingga pada semua titik pada studi dan juga dilihat angka kejadian efek samping selama dilakukannya studi.5
Sepanjang studi, seluruh kelompok pengobatan yang mendapatkan injeksi intravitreal anti-VEGF sebanyak 1 injeksi pada hari ke-0. Evaluasi efikasi dan keamanan dilakukan sebanyak 13 kali selama studi. Post-baseline therapy study dilakukan untuk mengukur durasi efek terapi.
Brolucizumab menunjukkan non inferioritas dibandingkan ranibizumab dalam hal perubahan CSFT mulai dari baseline sampai di bulan ke-1 pada dosis brolucizumab 4,5 mg dan 6,0 mg. Hal tersebut menunjukkan bahwa primary endpoint dari uji klinis SEE terpenuhi.5
Dalam hal perubahan BCVA, brolucizumab sebanding dengan ranibizumab. Secara numerik brolucizumab 6 mg menunjukkan perubahan BCVA yang konsisten lebih tinggi dibandingkan ranibizumab.5 Brolucizumab 6 mg juga menunjukkan respon yang lebih lama dibandingkan ranibizumab dengan median waktu 30 hari lebih panjang.5
Profil keamanan brolucizumab konsisten dengan profil keamanan anti-VEGF yang sudah ada sebelumnya dan tidak menunjukkan temuan keamanan baru, dengan efek samping yang paling sering terjadi adalah perdarahan konjungtiva, nyeri pada mata, dan hiperemia konjungtiva. Kebanyakan efek samping ini ada dalam derajat ringan.5
Hasil dari uji klinis SEE mendukung pengembangan brolucizumab (RTH258) untuk pengobatan wet AMD dengan non-inferoritas brolucizumab 4,5 mg dan 6,0 mg dibandingkan ranibizumab 0,5 mg dalam hal perubahan CSFT pada bulan ke-1, dan juga perpanjangan median waktu 30 hari ke post baseline therapy dengan brolucizumab 6.0 mg dibandingkan ranibizumab 0,5 mg.1
Reference :
- Schmidt-Erfurth U., et al. Br J Ophthalmol 2014;98:1144–1167
- Holz FG, et al. J Clin Invest 2014;124:1430–8.
- Ishikawa M, et al. J Ophthalmol 2015;2015:138070.
- Tietz J, Invest Ophthalmol Vis Sci 2015;56:1501.
- Holz F, et al. Ophthalmology 2016;123:1080-1089
Untuk mengakses materi seputar retina lainnya, Dokter dapat mengunjungi website Medhub kami dari PT Novartis Indonesia, sebagai berikut: